SEJARAH KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA
SEJARAH KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA
1. Sejarah
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan Islam pertama di
Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267 M. Bukti-bukti arkeologis
keberadaan kerajaan ini adalah ditemukannya makam raja-raja Pasai di kampung Geudong,
Aceh Utara. Makam ini terletak di dekat reruntuhan bangunan pusat kerajaan Samudera di
desa Beuringin, kecamatan Samudera, sekitar 17 km sebelah timur Lhokseumawe. Di antara
makam raja-raja tersebut, terdapat nama Sultan Malik al-Saleh, Raja Pasai pertama. Malik al-
Saleh adalah nama baru Meurah Silu setelah ia masuk Islam, dan merupakan sultan Islam
pertama di Indonesia. Berkuasa lebih kurang 29 tahun (1297-1326 M). Kerajaan Samudera
Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak, dengan raja pertama Malik al-
Saleh.
Seorang pengembara Muslim dari Maghribi, Ibnu Bathutah sempat mengunjungi Pasai tahun
1346 M. ia juga menceritakan bahwa, ketika ia di Cina, ia melihat adanya kapal Sultan Pasai di
negeri Cina. Memang, sumber-sumber Cina ada menyebutkan bahwa utusan Pasai secara
rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti. Informasi lain juga menyebutkan bahwa,
Sultan Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat pada tahun 1282 M. Ini membuktikan
bahwa Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan luar
Pada masa jayanya, Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan penting di kawasan itu,
dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri, seperti Cina, India, Siam, Arab dan
Persia. Komoditas utama adalah lada. Sebagai bandar perdagangan yang besar, Samudera
Pasai mengeluarkan mata uang emas yang disebut dirham. Uang ini digunakan secara resmi
di kerajaan tersebut. Di samping sebagai pusat perdagangan, Samudera Pasai juga
merupakan pusat perkembangan agama Islam.
Seiring perkembangan zaman, Samudera mengalami kemunduran, hingga ditaklukkan oleh
Majapahit sekitar tahun 1360 M. Pada tahun 1524 M ditaklukkan oleh kerajaan Aceh.
2. Silsilah
1. Sultan Malik al-Saleh (1267-1297 M)
2. Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326 M)
3. Sultan Ahmad Laidkudzahi
4. Sultan Zainal Abidin Malik al-Zahir (1383-1405 M)
5. Sultan Shalahuddin (1405-1412 M)
6. ...................................
3. Periode Pemerintahan
Rentang masa kekuasan Samudera Pasai berlangsung sekitar 3 abad, dari abad ke-13 hingga
16 M.
4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Pasai mencakup wilayah Aceh ketika itu.
5. Kehidupan Sosial-Budaya
Telah disebutkan di muka bahwa, Pasai merupakan kerajaan besar, pusat perdagangan dan
perkembangan agama Islam. Sebagai kerajaan besar, di kerajaan ini juga berkembang suatu
kehidupan yang menghasilkan karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil
memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam, untuk menulis karya mereka dalam
bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya disebut
Arab Jawi. Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks ini
diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M. HRP menandai dimulainya perkembangan sastra
Melayu klasik di bumi nusantara. Bahasa Melayu tersebut kemudian juga digunakan oleh
Syaikh Abdurrauf al-Singkili untuk menuliskan buku-bukunya.
Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku tasawuf yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-Manzum, karya Maulana Abu Ishak.
Kitab ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas
permintaan dari Sultan Malaka. Informasi di atas menceritakan sekelumit peran yang telah
dimainkan oleh Samudera Pasai dalam posisinya sebagai pusat tamadun Islam di Asia
Tenggara pada masa itu.
Sumber:
1. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 12. Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka. 1990
2. Profil Propinsi Republik Indoensia, DI Aceh. Jakarta: Yayasan Bakti Wawasan Nusantara. 1992.
3. Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan
Informasi Aceh. 1999.
KESULTANAN PERLAK
1. Sejarah
Analisis dan pemikiran tentang bagaimana sejarah masuknya Islam di Indonesia dipahami
melalui sejumlah teori. Aji Setiawan, misalnya melihat bahwa Kesultanan Perlak datangnya
Islam ke nusantara bisa ditelisik melalui tiga teori, yaitu teori Gujarat, teori Arab, dan teori
Persia. Teori Gujarat memandang bahwa asal muasal datangnya Islam di Indonesia adalah
melalui jalur perdagangan Gujarat India pada abad 13-14. Teori ini biasanya banyak
digunakan oleh ahli-ahli dari Belanda. Salah seorang penganutnya, W.F. Stuterheim
menyatakan bahwa Islam mulai masuk ke nusantara pada abad ke-13 yang didasarkan pada
bukti batu nisan sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik Al-Saleh pada
tahun 1297. Menurut teori ini, masuknya Islam ke nusantara melalui jalur perdagangan
Indonesia-Cambay (India)-Timur Tengah–Eropa.
Teori Persia lebih menitikberatkan pada realitas kesamaan kebudayaan antara masyarakat
Indonesia pada saat itu dengan budaya Persia. Sebagai contoh misalnya kesamaan konsep
wahdatul wujud-nya Hamzah Fanshuri dengan al-Hallaj. Sedangkan teori Arab berpandangan
sebaliknya. T.W. Arnold, salah seorang penganutnya berargumen bahwa para pedagang Arab
yang mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad ke-7 atau 8 juga sekaligus
melakukan penyebaran Islam di nusantara pada saat itu. Penganut teori ini lainnya, Naquib al-
Attas melihat bahwa bukti kedatangan Islam ke nusantara ditandai dengan karaktek Islam
yang khas, atau disebut dengan “teori umum tentang Islamisasi nusantara” yang didasarkan
pada literatur nusantara dan pandangan dunia Melayu. Di samping tiga teori umum di atas,
ada teori lain yang memandang bahwa datangnya Islam ke nusantara berasal dari Cina, atau
yang disebut dengan teori Cina.
Berdasarkan paparan teori-teori di atas, dapat diperkirakan bahwa Islam telah masuk ke
Indonesia sejak abad 7 atau 8 M. Pada abad ke-13, Islam sudah berkembang pesat. Menurut
catatan A. Hasymi, Kesultanan Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia yang
berdiri pada tanggal 1 Muharam 225 H atau 804 M. Kesultanan ini terletak di wilayah Perlak,
Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.
Nama Kesultanan Perlak sebagai sejarah permulaan masuknya Islam di Indonesia kurang
begitu dikenal dibandingkan dengan Kesultanan Samudera Pasai. Namun demikian, nama
Kesultanan Perlak justru terkenal di Eropa karena kunjungan Marco Polo pada tahun 1293.
a. Sejarah Masuknya Islam
Kesultanan Perlak berdiri pada tahun 840 dan berakhir pada tahun 1292. Proses berdirinya
tidak terlepas dari pengaruh Islam di wilayah Sumatera. Sebelum Kesultanan Perlak berdiri, di
wilayah Perlak sebenarnya sudah berdiri Negeri Perlak yang raja dan rakyatnya merupakan
keturunan dari Maharaja Pho He La (Meurah Perlak Syahir Nuwi) serta keturunan dari
pasukan-pasukan pengikutnya.
Pada tahun 840 ini, rombongan berjumlah 100 orang dari Timur Tengah menuju pantai
Sumatera yang dipimpin oleh Nakhoda Khilafah. Rombongan ini bertujuan untuk berdagang
sekaligus membawa sejumlah da‘i yang bertugas untuk membawa dan menyebarkan Islam ke
Perlak. Dalam waktu kurang dari setengah abad, raja dan rakyat Perlak meninggalkan agama
lama mereka (Hindu dan Buddha), yang kemudian secara sukarela berbondong-bondong
memeluk Islam.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa salah seorang anak buah dari Nakhoda
Khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja‘far Shadiq dikawinkan dengan Makhdum Tansyuri, yang
merupakan adik dari Syahir Nuwi, Raja Negeri Perlak yang berketurunan Parsi. Dari buah
perkawinan mereka lahirlah Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah, yang menjadi
sultan pertama di Kesultanan Perlak sejak tahun 840. Ibu kotanya Perlak yang semula
bernama Bandar Perlak kemudian diubah menjadi Bandar Khalifah sebagai bentuk perhargaan
terhadap jasa Nakhoda Khalifah.
b. Masa Permusuhan Sunni-Syiah
Sejarah keislaman di Kesultanan Perlak tidak luput dari persaingan antara kelompok Sunni
dan Syiah. Perebutan kekuasaan antara dua kelompok Muslim ini menyebabkan terjadinya
perang saudara dan pertumpahan darah. Silih berganti kelompok yang menang mengambil
alih kekuasaan dari tangan pesaingnya.
Aliran Syi‘ah datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia.
Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan Perlak dengan dukungan penuh dari dinasti
Fatimiah di Mesir. Ketika dinasti ini runtuh pada tahun 1268, hubungan antara kelompok
Syi‘ah di pantai Sumatera dengan kelompok Syi‘ah di Mesir mulai terputus. Kondisi ini
menyebabkan konstelasi politik Mesir berubah haluan. Dinasti Mamaluk memerintahkan
pasukan yang dipimpin oleh Syaikh Ismail untuk pergi ke pantai timur Sumatra dengan tujuan
utamanya adalah melenyapkan pengikut Syi‘ah di Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudera
Pasai.
Sebagai informasi tambahan bahwa raja pertama Kerajaan Samudera Pasai, Marah Silu
dengan gelar Malikul Saleh berpindah agama, yang awalnya beragama Hindu kemudian
memeluk Islam aliran Syiah. Oleh karena dapat dibujuk oleh Syaikh Ismail, Marah Silu
kemudian menganut paham Syafii. Dua pengikut Marah Silu, Seri Kaya dan Bawa Kaya juga
menganut paham Syafii, sehingga nama mereka berubah menjadi Sidi Ali Chiatuddin dan Sidi
Ali Hasanuddin. Ketika berkuasa Marah Silu dikenal sebagai raja yang sangat anti terhadap
pemikiran dan pengikut Syi‘ah.
Aliran Sunni mulai masuk ke Kesultanan Perlak, yaitu pada masa pemerintahan sultan ke-3,
Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah. Setelah ia meninggal pada tahun 363 H (913 M),
terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni, yang menyebabkan kesultanan dalam
kondisi tanpa pemimpin. Pada tahun 302 H (915 M), kelompok Syiah memenangkan perang.
Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah kemudian memegang
kekuasaan kesultanan sebagai sultan ke-4 (915-918). Ketika pemerintahannya berakhir,
terjadi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni, hanya saja untuk kali ini justru dimenangkan
oleh kelompok Sunni.
Kurun waktu antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif tidak terjadi gejolak yang berarti.
Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M), setelah sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul
Malik Shah Johan Berdaulat meninggal, terjadi lagi pergolakan antara kelompok Syiah dan
Sunni selama kurang lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri dengan adanya
itikad perdamaian dari keduanya. Kesultanan kemudian dibagi menjadi dua bagian. Pertama,
Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988). Kedua,
Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan
Berdaulat (986 – 1023).
Kedua kepemimpinan tersebut bersatu kembali ketika salah satu dari pemimpin kedua wilayah
tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal. Ia meninggal ketika Perlak
berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang membangkitkan
semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak. Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya menguasai Perlak
Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada Kesultanan Perlak. Ia melanjutkan
perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006. Sultan ke-8 sebenarnya berpaham aliran
Sunni, namun sayangnya belum ditemukan data yang menyebutkan apakah terjadi lagi
pergolakan antar kedua aliran tersebut.
2. Silsilah
Sebelum berdirinya Kesultanan Perlak, di wilayah Negeri Perlak sudah ada rajanya, yaitu
Meurah Perlak Syahir Nuwi. Namun, data tentang raja-raja Negeri Perlak secara lengkap
belum ditemukan. Sedangkan daftar nama sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Pelak
adalah sebagai berikut:
1. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840-864)
2. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864-888)
3. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888-913)
4. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915-918)
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928-932)
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932-956)
7. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956-983)
8. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023)
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1023-1059)
10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (1059-1078)
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078-1109)
12. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109-1135)
13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1135-1160)
14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (1160-1173)
15. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173-1200)
16. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (1200-1230)
17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (1230-1267
18. 18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267-1292)
Catatan: Sultan-sultan di atas dibagi menurut dua dinasti, yaitu dinasti Syed Maulana Abdul
Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat, yang merupakan keturunan dari Meurah Perlak asli
(Syahir Nuwi).
3. Periode Pemerintahan
Sultan Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan
Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan
dua orang puterinya, yaitu: Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka,
Sultan Muhammad Shah (Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja
Kerajaan Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh.
Kesultanan Perlak berakhir setelah Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul
Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292. Kesultanan Perlak kemudian menyatu
dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah kekuasaan sultan Samudera Pasai yang
memerintah pada saat itu, Sultan Muhammad Malik Al Zahir yang juga merupakan putera dari
al-Malik al-Saleh.
4. Wilayah Kekuasaan
Sebelum bersatu dengan Kerajaan Samudera Pasai, wilayah kekuasaan Kesultanan Perlak
hanya mencakup kawasan sekitar Perlak saja. Saat ini, kesultanan ini terletak di pesisir timur
daerah aceh yang tepatnya berada di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam,
Indonesia.
5. Kehidupan Sosial-Budaya
Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang sangat
strategis. Apalagi, Perlak sangat dikenal sebagai penghasil kayu perlak, yaitu jenis kayu yang
sangat bagus untuk membuat kapal. Kondisi semacam inilah yang membuat para pedagang
dari Gujarat, Arab, dan Persia tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para pedagang
tersebut juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kawasan ini. Kedatangan mereka
berpengaruh terhadap kehidupan sosio-budaya masyarakat Perlak pada saat itu. Sebab,
ketika itu masyarakat Perlak mulai diperkenalkan tentang bagaimana caranya berdagang.
Pada awal abad ke-8, Perlak dikenal sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju.
Model pernikahan percampuran mulai terjadi di daerah ini sebagai konsekuensi dari
membaurnya antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang. Kelompok
pendatang bermaksud menyebarluaskan misi Islamisasi dengan cara menikahi wanita-wanita
setempat. Sebenarnya tidak hanya itu saja, pernikahan campuran juga dimaksudkan untuk
mengembangkan sayap perdagangan dari pihak pendatang di daerah ini.
Sumber :
· Setiawan, Aji. 2006. “Islam Masuk ke Indonesia”, www.islamlib.com.
· Smith Alhadar, “Sejarah dan Tradisi Syiah Ternate”, www.fatimah.org.
· www.osdir.com.
· wikipedia.org.
KESULTANAN MALAKA
1. Sejarah
a. Pendiri
Kerajaan Malaka didirikan oleh Parameswara antara tahun 1380-1403 M. Parameswara
berasal dari Sriwijaya, dan merupakan putra Raja Sam Agi. Saat itu, ia masih menganut
agama Hindu. Ia melarikan diri ke Malaka karena kerajaannya di Sumatera runtuh akibat
diserang Majapahit. Pada saat Malaka didirikan, di situ terdapat penduduk asli dari Suku Laut
yang hidup sebagai nelayan. Mereka berjumlah lebih kurang tiga puluh keluarga. Raja dan
pengikutnya adalah rombongan pendatang yang memiliki tingkat kebudayaan yang jauh lebih
tinggi, karena itu, mereka berhasil mempengaruhi masyarakat asli. Kemudian, bersama
penduduk asli tersebut, rombongan pendatang mengubah Malaka menjadi sebuah kota yang
ramai. Selain menjadikan kota tersebut sebagai pusat perdagangan, rombongan pendatang
juga mengajak penduduk asli menanam tanaman yang belum pernah mereka kenal
sebelumnya, seperti tebu, pisang, dan rempah-rempah.
Rombongan pendatang juga telah menemukan biji-biji timah di daratan. Dalam
perkembangannya, kemudian terjalin hubungan perdagangan yang ramai dengan daratan
Sumatera. Salah satu komoditas penting yang diimpor Malaka dari Sumatera saat itu adalah
beras. Malaka amat bergantung pada Sumatera dalam memenuhi kebutuhan beras ini, karena
persawahan dan perladangan tidak dapat dikembangkan di Malaka. Hal ini kemungkinan
disebabkan teknik bersawah yang belum mereka pahami, atau mungkin karena perhatian
mereka lebih tercurah pada sektor perdagangan, dengan posisi geografis strategis yang
mereka miliki.
Berkaitan dengan asal usul nama Malaka, bisa dirunut dari kisah berikut. Menurut Sejarah
Melayu (Malay Annals) yang ditulis Tun Sri Lanang pada tahun 1565, Parameswara melarikan
diri dari Tumasik, karena diserang oleh Siam. Dalam pelarian tersebut, ia sampai ke Muar,
tetapi ia diganggu biawak yang tidak terkira banyaknya. Kemudian ia pindah ke Burok dan
mencoba untuk bertahan disitu, tapi gagal. Kemudian Parameswara berpindah ke Sening
Ujong hingga kemudian sampai di Sungai Bertam, sebuah tempat yang terletak di pesisir
pantai. Orang-orang Seletar yang mendiami kawasan tersebut kemudian meminta
Parameswara menjadi raja. Suatu ketika, ia pergi berburu. Tak disangka, dalam perburuan
tersebut, ia melihat salah satu anjing buruannya ditendang oleh seekor pelanduk. Ia sangat
terkesan dengan keberanian pelanduk tersebut. Saat itu, ia sedang berteduh di bawah pohon
Malaka. Maka, kawasan tersebut kemudian ia namakan Malaka.
Dalam versi lain, dikatakan bahwa sebenarnya nama Malaka berasal dari bahasa Arab Malqa,
artinya tempat bertemu. Disebut demikian, karena di tempat inilah para pedagang dari
berbagai negeri bertemu dan melakukan transaksi niaga. Demikianlah, entah versi mana yang
benar, atau boleh jadi, ada versi lain yang berkembang di masyarakat.
b. Politik Negara
Dalam menjalankan dan menyelenggarakan politik negara, ternyata para sultan menganut
paham politik hidup berdampingan secara damai (co-existence policy) yang dijalankan secara
efektif. Politik hidup berdampingan secara damai dilakukan melalui hubungan diplomatik dan
ikatan perkawinan. Politik ini dilakukan untuk menjaga keamanan internal dan eksternal
Malaka. Dua kerajaan besar pada waktu itu yang harus diwaspadai adalah Cina dan Majapahit.
Maka, Malaka kemudian menjalin hubungan damai dengan kedua kerajaan besar ini. Sebagai
tindak lanjut dari politik negara tersebut, Parameswara kemudian menikah dengan salah
seorang putri Majapahit.
Sultan-sultan yang memerintah setelah Prameswara (Muhammad Iskandar Syah)) tetap
menjalankan politik bertetangga baik tersebut. Sebagai bukti, Sultan Mansyur Syah (1459—
1477) yang memerintah pada masa awal puncak kejayaan Kerajaan Malaka juga menikahi
seorang putri Majapahit sebagai permaisurinya. Di samping itu, hubungan baik dengan Cina
tetap dijaga dengan saling mengirim utusan. Pada tahun 1405 seorang duta Cina Ceng Ho
datang ke Malaka untuk mempertegas kembali persahabatan Cina dengan Malaka. Dengan
demikian, kerajaan-kerajaan lain tidak berani menyerang Malaka.
Pada tahun 1411, Raja Malaka balas berkunjung ke Cina beserta istri, putra, dan menterinya.
Seluruh rombongan tersebut berjumlah 540 orang. Sesampainya di Cina, Raja Malaka beserta
rombongannya disambut secara besar-besaran. Ini merupakan pertanda bahwa, hubungan
antara kedua negeri tersebut terjalin dengan baik. Saat akan kembali ke Malaka, Raja
Muhammad Iskandar Syah mendapat hadiah dari Kaisar Cina, antara lain ikat pinggang
bertatahkan mutu manikam, kuda beserta sadel-sadelnya, seratus ons emas dan perak,
400.000 kwan uang kertas, 2600 untai uang tembaga, 300 helai kain khasa sutra, 1000 helai
sutra tulen, dan 2 helai sutra berbunga emas. Dari hadiah-hadiah tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa, dalam pandangan Cina, Malaka adalah kerajaan besar dan diperhitungkan.
Di masa Sultan Mansur Syah, juga terjadi perkawinan antara Hang Li Po, putri Maharaja Yung
Lo dari dinasti Ming, dengan Sultan Mansur Shah. Dalam prosesi perkawinan ini, Sultan
Mansur Shah mengirim Tun Perpateh Puteh dengan serombongan pengiring ke negeri China
untuk menjemput dan membawa Hang Li Po ke Malaka. Rombonga ini tiba di Malaka pada
tahun 1458 dengan 500 orang pengiring.
Demikianlah, Malaka terus berusaha menjalankan politik damai dengan kerajaan-kerajaan
besar. Dalam melaksanakan politik bertetangga yang baik ini, peran Laksamana Malaka Hang
Tuah sangat besar. Laksamana yang kebesaran namanya dapat disamakan dengan Gajah
Mada atau Adityawarman ini adalah tangan kanan Sultan Malaka, dan sering dikirim ke luar
negeri mengemban tugas kerajaan. Ia menguasai bahasa Keling, Siam dan Cina.
c. Hang Tuah
Hang Tuah lahir di Sungai Duyung Singkep. Ayahnya bernama Hang Machmud dan ibunya
bernama Dang Merdu. Kedua orang tuanya adalah rakyat biasa yang hidup sebagai petani dan
penangkap ikan.
Keluarga Hang Tuah kemudian pindah ke Pulau Bintan. Di sinilah ia dibesarkan. Dia berguru di
Bukit Lengkuas, Bintan Timur. Pada usia yang masih muda, Hang Tuah sudah menunjukkan
kepahlawanannya di lautan. Bersama empat orang kawan seperguruannya, yaitu Hang Jebat,
Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiyu, mereka berhasil menghancurkan perahu-perahu
bajak laut di sekitar perairan dan selat-selat di Kepulauan Riau, sekalipun musuh mereka jauh
lebih kuat.
Karena kepahlawanan Hang Tuah dan kawan-kawannya tersebut, maka Sultan Kerajaan
Malaka mengangkat mereka sebagai prajurit kerajaan. Hang Tuah sendiri kemudian diangkat
menjadi Laksamana Panglima Angkatan Laut Kerajaan Malaka. Sedangkan empat orang
kawannya tersebut di atas, kelak menjadi prajurit Kerajaan Malaka yang tangguh.
Dalam pengabdiannya demi kebesaran Malaka, Laksamana Hang Tuah dikenal memiliki
semboyan berikut.
1. Esa hilang dua terbilang
2. Tak Melayu hilang di bumi.
3. Tuah sakti hamba negeri.
Hingga saat ini, orang Melayu masih mengagungkan Hang Tuah, dan keberadaanya hampir
menjadi mitos. Namun demikian, Hang Tuah bukanlah seorang tokoh gaib. Dia meninggal di
Malaka dan dimakamkan di tempat asalnya, Sungai Duyung di Singkep.
d. Malaka Sebagai Pusat Penyebaran Agama Islam
Sebelum muncul dan tersebarnya Islam di Semenanjung Arabia, para pedagang Arab telah
lama mengadakan hubungan dagang di sepanjang jalan perdagangan antara Laut Merah
dengan Negeri Cina. Berkembangnya agama Islam semakin memberikan dorongan pada
perkembangan perniagaan Arab, sehingga jumlah kapal maupun kegiatan perdagangan
mereka di kawasan timur semakin besar.
Pada abad VIII, para pedagang Arab sudah banyak dijumpai di pelabuhan Negeri Cina.
Diceritakan, pada tahun 758 M, Kanton merupakan salah satu tempat tinggal para pedagang
Arab. Pada abad IX, di setiap pelabuhan yang terdapat di sepanjang rute perdagangan ke
Cina, hampir dapat dipastikan ditemukan sekelompok kecil pedagang Islam. Pada abad XI,
mereka juga telah tinggal di Campa dan menikah dengan penduduk asli, sehingga jumlah
pemeluk Islam di tempat itu semakin banyak. Namun, rupanya mereka belum aktif
berasimilasi dengan kaum pribumi sehingga penyiaran agama Islam tidak mengalami
kemajuan.
Sebagai salah satu bandar ramai di kawasan timur, Malaka juga ramai dikunjungi oleh para
pedagang Islam. Lambat laun, agama ini mulai menyebar di Malaka. Dalam
perkembangannya, raja pertama Malaka, yaitu Prameswara akhirnya masuk Islam pada tahun
1414 M. Dengan masuknya raja ke dalam agama Islam, maka Islam kemudian menjadi
agama resmi di Kerajaan Malaka, sehingga banyak rakyatnya yang ikut masuk Islam.
Selanjutnya, Malaka berkembang menjadi pusat perkembangan agama Islam di Asia
Tenggara, hingga mencapai puncak kejayaan di masa pemeritahan Sultan Mansyur Syah
(1459—1477). Kebesaran Malaka ini berjalan seiring dengan perkembangan agama Islam.
Negeri-negeri yang berada di bawah taklukan Malaka banyak yang memeluk agama Islam.
Untuk mempercepat proses penyebaran Islam, maka dilakukan perkawinan antarkeluarga.
Malaka juga banyak memiliki tentara bayaran yang berasal dari Jawa. Selama tinggal di
Malaka, para tentara ini akhirnya memeluk Islam. Ketika mereka kembali ke Jawa, secara
tidak langsung, mereka telah membantu proses penyeberan Islam di tanah Jawa. Dari Malaka,
Islam kemudian tersebar hingga Jawa, Kalimantan Barat, Brunei, Sulu dan Mindanau (Filipina
Selatan).
Malaka runtuh akibat serangan Portugis pada 24 Agustus 1511, yang dipimpin oleh Alfonso de
Albuquerque. Sejak saat itu, para keluarga kerajaan menyingkir ke negeri lain.
2. Silsilah
Raja/Sultan yang memerintah di Malaka adalah sebagai berikut:
1. Permaisura yang bergelar Muhammad Iskandar Syah (1380—1424)
2. Sri Maharaja (1424—1444)
3. Sri Prameswara Dewa Syah (1444—1445)
4. Sultan Muzaffar Syah (1445—1459)
5. Sultan Mansur Syah (1459—1477)
6. Sultan Alauddin Riayat Syah (1477—1488)
7. Sultan Mahmud Syah (1488—1551)
3. Periode Pemerintahan
Setelah Parameswara masuk Islam, ia mengubah namanya menjadi Muhammad Iskandar
Syah pada tahun 1406, dan menjadi Sultan Malaka I. Kemudian, ia kawin dengan putri Sultan
Zainal Abidin dari Pasai. Posisi Malaka yang sangat strategis menyebabkannya cepat
berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai. Akhir kesultanan Malaka terjadi ketika
wilayah ini direbut oleh Portugis yang dipimpin oleh Alfonso d’albuquerque pada tahun 1511.
Saat itu, yang berkuasa di Malaka adalah Sultan Mahmud Syah.
Usia Malaka ternyata cukup pendek, hanya satu setengah abad. Sebenarnya, pada tahun
1512, Sultan Mahmud Syah yang dibantu Dipati Unus menyerang Malaka, namun gagal
merebut kembali wilayah ini dari Portugis. Sejarah Melayu tidak berhenti sampai di sini. Sultan
Melayu segera memindahkan pemerintahannya ke Muara, kemudian ke Pahang, Bintan Riau,
Kampar, kemudian kembali ke Johor dan terakhir kembali ke Bintan. Begitulah, dari dahulu
bangsa Melayu ini tidak dapat dipisahkan. Kolonialisme Baratlah yang memecah belah
persatuan dan kesatuan Melayu.
4. Wilayah Kekuasaan.
Dalam masa kejayaannya, Malaka mempunyai kontrol atas daerah-daerah berikut:
1. Semenanjung Tanah Melayu (Patani, Ligor, Kelantan, Trenggano, dan sebagainya).
2. Daerah Kepulauan Riau.
3. Pesisir Timur Sumatra bagian tengah.
4. Brunai dan Serawak.
5. Tanjungpura (Kalimantan Barat).
Sedangkan daerah yang diperoleh dari Majapahit secara diplomasi adalah sebagai berikut.
1. Indragiri.
2. Palembang.
3. Pulau Jemaja, Tambelan, Siantan, dan Bunguran.
KERAJAAN PAGARUYUNG
1. Sejarah
Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri, meliputi provinsi
Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini berasal dari
ibukotanya, yang berada di nagari Pagaruyung. Kerajaan ini didirikan oleh seorang pangeran
dari Majapahit bernama Adityawarman pada tahun 1347. Kerajaan Pagaruyung menjadi
Kesultanan Islam sekitar tahun 1600-an.
Walaupun Adityawarman merupakan pangeran dari Majapahit, ia sebenarnya memiliki darah
Melayu. Dalam sejarahnya, pada tahun 1286, Raja Kertanegara menghadiahkan arca
Amogapacha untuk Kerajaan Darmasraya di Minangkabau. Sebagai imbalan atas pemberian
itu, Raja Darmas Raya memperkenankan dua putrinya, Dara Petak dan Dara Jingga untuk
dibawa dan dipersunting oleh bangsawan Singosari. Dari perkawinan Dara Jingga inilah
kemudian lahir Aditywarman.
Ketika Singosari runtuh, mucul Majapahit. Adityawarman merupakan seorang pejabat di
Majapahit. Suatu ketika, ia dikirim ke Darmasraya sebagai penguasa daerah tersebut. Tapi
kemudian, Adityawarman justru melepaskan diri dari Majapahit. Dalam sebuah prasasti
bertahun 1347, disebutkan bahwa Aditywarman menobatkan diri sebagai raja atas daerah
tersebut. Daerah kekuasaannya disebut Pagaruyung, karena ia memagari daerah tersebut
dengan ruyung pohon kuamang, agar aman dari gangguan pihak luar. Karena itulah, negeri
itu kemudian disebut dengan Pagaruyung.
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat menjelang perang Padri, meskipun
raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh,
sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun
resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung. Kerajaan ini runtuh pada masa Perang Padri
akibat konflik yang terjadi dan campur tangan kolonial Belanda pada pertengahan abad ke-19.
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki
sistem politik semacam konfederasi yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai
nagari dan luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, Kerajaan Pagaruyung merupakan semacam
perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).
2.Wilayah Kekuasaan
Wilayah pengaruh politik Pagaruyung dapat dilacak dari pernyataan berbahasa Minang ini:
dari Sikilang Aia Bangih
hingga Taratak Aia Hitam.
Dari Durian Ditakuak Rajo
hingga Sialang Balantak Basi.
Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan
dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak
Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah
wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang.
3. Struktur Pemerintahan
Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari yang merupakan satuan wilayah
otonom. Nagari-nagari ini merupakan dasar kerajaan, dan mempunyai kewenangan yang luas
dalam memerintah. Misalnya nagari punya kekayaan sendiri dan memiliki pengadilan adat
sendiri. Beberapa buah nagari terkadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X adalah
persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari kaum
penghulu, dan sering diberi gelar raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.
Di daerah darek umumnya nagari-nagari ini diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai
masing-masing suku yang berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku,
dan warga nagari mengendalikan pemerintahan melalui para penghulu mereka. Keputusan
pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu, setelah dimusyawarahkan terlebih
dahulu.
Di daerah rantau seperti di Pasaman kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada rajaraja
kecil, yang memerintah turun temurun. Di Inderapura raja mengambil gelar sultan.
Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah rantau. Ia boleh membuat peraturan
dan memungut pajak di sana. Daerah-daerah rantau ini adalah Pasaman, Kampar, Rokan,
Indragiri dan Batanghari. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung (di Luhak Nan Tigo) meskipun
tetap dihormati ia hanya bertindak sebagai penengah.
Untuk melaksanakan tugas-tugasnya Raja Pagaruyung dibantu oleh dua orang raja lain, Raja
Adat yang berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus. Raja
Adat memutuskan masalah-masalah adat sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah
agama. Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung yang disebut
sebagai Raja Alam.
Selain kedua raja tadi Raja Alam dibantu pula oleh Basa Ampek Balai, artinya orang besar
yang berempat. Mereka adalah:
1. Bandaro (bendahara) atau Tuanku Titah yang berkedudukan di Sungai Tarab.
Kedudukannya hampir sama seperti Perdana Menteri. Bendahara ini dapat
dibandingkan dengan jabatan bernama sama di Kesultanan Melaka
2. Makhudum yang berkedudukan di Sumanik. Bertugas memelihara hubungan dengan
rantau dan kerajaan lain.
3. Indomo yang berkedudukan di Saruaso. Bertugas memelihara adat-istiadat
4. Tuan Kadi berkedudukan di Padang Ganting. Bertugas menjaga syariah agama
Tuan Gadang di Batipuh tidak termasuk dalam Basa Ampek Balai, namun derajatnya sama.
Tuan Gadang bertugas sebagai panglima angkatan perang.
Sebagai aparat pemerintah masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu di
mana mereka berhak menagih upeti sekedarnya. Daerah-daerah ini disebut rantau masingmasing.
Bandaro memiliki rantau di Bandar X, rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto dekat
Sijunjung, Indomo punya rantau di bagian utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau
di Semenanjung Melayu, di daerah pemukiman orang Minangkabau di sana.
Sumber:
· Wikipedia dengan perubahan struktur penulisan
· Buku Minangkabau diterbitkan kerjasama Yayasan Gebu Minang.
KERAJAAN SRIWIJAYA
1. Sejarah
Pengetahuan mengenai sejarah Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad ke-20 M, ketika
George Coedes menulis karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M.
Sebenarnya, lima tahun sebelum itu, yaitu pada tahun 1913 M, Kern telah menerbitkan
Prasasti Kota Kapur, sebuah prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka.
Namun, saat itu, Kern masih menganggap nama Sriwijaya yang tercantum pada prasasti
tersebut sebagai nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau
gelar raja.
Pada tahun 1896 M, sarjana Jepang Takakusu menerjemahkan karya I-tsing, Nan-hai-chikuei-
nai fa-ch‘uan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Record of the Budhist Religion as
Practised in India and the Malay Archipelago. Namun, dalam buku tersebut tidak terdapat
nama Sriwijaya, yang ada hanya Shih-li-fo-shih. Dari terjemahan prasasti Kota Kapur yang
memuat nama Sriwijaya dan karya I-Tsing yang memuat nama Shih-li-fo-shih, Coedes
kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan.
Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang,
dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay
Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fots‘
I adalah Palembang. Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886
bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi, dekat kota
Palembang sekarang. Dari pendapat ini, kemudian muncul suatu kecenderungan di kalangan
sejarawan untuk menganggap Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya.
Sumber lain yang mendukung keberadaan Palembang sebagai pusat kerajaan adalah prasasti
Telaga Batu. Prasasti ini berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh
kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar
air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara
sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang
disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai
sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat
kerajaan. Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M, maka diduga kuat
Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya.
Petunjuk lain yang menyatakan bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan juga diperoleh
dari hasil temuan barang-barang keramik dan tembikar di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa,
Bukit Siguntang dan Kambang Unglen, semuanya di daerah Palembang. Keramik dan tembikar
tersebut merupakan alat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Temuan ini
menunjukkan bahwa, pada masa dulu, di Palembang terdapat pemukiman kuno. Dugaan ini
semakin kuat dengan hasil interpretasi foto udara di daerah sebelah barat Kota Palembang,
yang menggambarkan bentuk-bentuk kolam dan kanal. Kolam dan kanal-kanal yang
bentuknya teratur itu kemungkinan besar buatan manusia, bukan hasil dari proses alami.
Dari hasil temuan keramik dan kanal-kanal ini, maka dugaan para arkeolog bahwa Palembang
merupakan pusat kerajaan semakin kuat.
Sebagai pusat kerajaan, kondisi Palembang ketika itu bersifat mendesa (rural), tidak seperti
pusat-pusat kerajaan lain yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara daratan, seperti di
Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Bahan utama yang dipakai untuk membuat bangunan di
pusat kota Sriwijaya adalah kayu atau bambu yang mudah didapatkan di sekitarnya. Oleh
karena bahan itu mudah rusak termakan zaman, maka tidak ada sisa bangunan yang dapat
ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa pemukiman dengan konstruksi kayu tersebut hanya dapat
ditemukan di daerah rawa atau tepian sungai yang terendam air, bukan di pusat kota, seperti
di situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi. Memang ada bangunan yang dibuat dari
bahan bata atau batu, tapi hanya bangunan sakral (keagamaan), seperti yang ditemukan di
Palembang, di situs Gedingsuro, Candi Angsoka, dan Bukit Siguntang, yang terbuat dari bata.
Sayang sekali, sisa bangunan yang ditemukan tersebut hanya bagian pondasinya saja.
Seiring perkembangan, semakin banyak ditemukan data sejarah berkenaan dengan Sriwijaya.
Selain prasasti Kota Kapur, juga ditemukan prasasti Karang Berahi (ditemukan tahun 1904
M), Telaga Batu (ditemukan tahun 1918 M), Kedukan Bukit (ditemukan tahun 1920 M) Talang
Tuo (ditemukan tahun 1920 M) dan Boom Baru. Di antara prasasti di atas, prasasti Kota Kapur
merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah perjalanan suci
Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti
perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki. Perjalanan ini berakhir di mukha-p. Di
tempat tersebut, Dapunta Hyang kemudian mendirikan wanua (perkampungan) yang diberi
nama Sriwijaya. Dalam prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684 M, disebutkan mengenai
pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk, yang diberi
nama Sriksetra. Dalam taman tersebut, terdapat pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan.
Data tersebut semakin lengkap dengan adanya berita Cina dan Arab. Sumber Cina yang paling
sering dikutip adalah catatan I-tsing. Ia merupakan seorang peziarah Budha dari China yang
telah mengunjungi Sriwijaya beberapa kali dan sempat bermukim beberapa lama. Kunjungan
I-sting pertama adalah tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat
lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha
tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India.
I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru
ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, I-tsing kembali ke Sriwijaya
pada tahun 685 dan tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha
dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan
Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M.
Dalam sumber lain, yaitu catatan Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawan
Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu,
digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat
banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala,
kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
Dari catatan asing tersebut, bisa diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan besar pada
masanya, dengan wilayah dan relasi dagang yang luas sampai ke Madagaskar. Sejumlah bukti
lain berupa arca, stupika, maupun prasasti lainnya semakin menegaskan bahwa, pada
masanya Sriwijaya adalah kerajaan yang mempunyai komunikasi yang baik dengan para
saudagar dan pendeta di Cina, India dan Arab. Hal ini hanya mungkin bisa dilakukan oleh
sebuah kerajaan yang besar, berpengaruh, dan diperhitungkan di kawasannya.
Pada abad ke-11 M, Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Pada tahun 1006 M, Sriwijaya
diserang oleh Dharmawangsa dari Jawa Timur. Serangan ini berhasil dipukul mundur, bahkan
Sriwijaya mampu melakukan serangan balasan dan berhasil menghancurkan kerajaan
Dharmawangsa. Pada tahun 1025 M, Sriwijaya mendapat serangan yang melumpuhkan dari
kerajaan Cola, India. Walaupun demikian, serangan tersebut belum mampu melenyapkan
Sriwijaya dari muka bumi. Hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri, walaupun
kekuatan dan pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang.
2. Silsilah
Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah dengan melakukan perkawinan
dengan kerajaan lain. Hal ini juga dilakukan oleh penguasa Sriwijaya. Dapunta Hyang yang
berkuasa sejak 664 M, melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan
Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja
Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama
Dewi Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram
Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian
lahir Bala Putra Dewa yang menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M. Berikut ini daftar
silsilah para raja Sriwijaya:
Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683, Talang Tuo, 684).
1. Cri Indrawarman (berita Cina, tahun 724).
2. Rudrawikrama (berita Cina, tahun 728, 742).
3. Wishnu (prasasti Ligor, 775).
4. Maharaja (berita Arab, tahun 851).
5. Balaputradewa (prasasti Nalanda, 860).
6. Cri Udayadityawarman (berita Cina, tahun 960).
7. Cri Udayaditya (berita Cina, tahun 962).
8. Cri Cudamaniwarmadewa (berita Cina, tahun 1003, prasasti Leiden, 1044).
9. Maraviyayatunggawarman (prasasti Leiden, 1044).
10. Cri Sanggaramawijayatunggawarman (prasasti Chola, 1044).
3. Periode Pemerintahan
Kerajaan Sriwijaya berkuasa dari abad ke-7 hingga awal abad ke-13 M, dan mencapai zaman
keemasan di era pemerintahan Balaputra Dewa (833-856 M). Kemunduran kerajaan ini
berkaitan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Sumatera, dan munculnya
kekuatan Singosari dan Majapahit di Pulau Jawa.
4. Wilayah Kekuasaan
Dalam sejarahnya, kerajaan Sriwijaya menguasai bagian barat Nusantara. Salah satu faktor
yang menyebabkan Sriwijaya bisa menguasai seluruh bagian barat Nusantara adalah
runtuhnya kerajaan Fu-nan di Indocina. Sebelumnya, Fu-nan adalah satu-satunya pemegang
kendali di wilayah perairan Selat Malaka. Faktor lainnya adalah kekuatan armada laut
Sriwijaya yang mampu menguasai jalur lalu lintas perdagangan antara India dan Cina. Dengan
kekuatan armada yang besar, Sriwijaya kemudian melakukan ekspansi wilayah hingga ke
pulau Jawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sampai ke Brunei di
pulau Borneo.
Dari prasasti Kota Kapur yang ditemukan JK Van der Meulen di Pulau Bangka pada bulan
Desember 1892 M, diperoleh petunjuk mengenai Kerajaan Sriwijaya yang sedang berusaha
menaklukkan Bumi Jawa. Meskipun tidak dijelaskan wilayah mana yang dimaksud dengan
Bhumi Jawa dalam prasasti itu, beberapa arkeolog meyakini, yang dimaksud Bhumi Jawa itu
adalah Kerajaan Tarumanegara di Pantai Utara Jawa Barat. Selain dari isi prasasti, wilayah
kekuasaan Sriwijaya juga bisa diketahui dari persebaran lokasi prasasti-prasasti peninggalan
Sriwjaya tersebut. Di daerah Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah, di Jambi ada
Karang Berahi, di Bangka ada Kota kapur, di Riau ada Muara Takus. Semua ini menunjukkan
bahwa, daerah-daerah tersebut pernah dikuasai Sriwijaya. Sumber lain ada yang mengatakan
bahwa, kekuasaan Sriwijaya sebenarnya mencapai Philipina. Ini merupakan bukti bahwa,
Sriwijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah Nusantara.
5. Struktur Pemerintahan
Kekuasaan tertinggi di Kerajaan Sriwijaya dipegang oleh raja. Untuk menjadi raja, ada tiga
persyaratan yaitu:
1. Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.
2. Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan
kesejahteraan pada rakyatnya.
3. Ekachattra. Eka berarti satu dan chattra berarti payung. Kata ini bermakna mampu
memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.
Penyamaan raja dengan Dewa Indra menunjukkan raja di Sriwijaya memiliki kekuasaan yang
bersifat transenden.
Belum diketahui secara jelas bagaimana struktur pemerintahan di bawah raja. Salah satu
pembantunya yang disebut secara jelas hanya senapati yang bertugas sebagai panglima
perang.
6. Kehidupan Ekonomi, Sosial, Budaya
Sebagai kerajaan besar yang menganut agama Budha, di Sriwijaya telah berkembang iklim
yang kondusif untuk mengembangkan agama Budha tersebut. Dalam catatan perjalanan Itsing
disebutkan bahwa, pada saat itu, di Sriwijaya terdapat seribu pendeta. Dalam perjalanan
pertamanya, I-tsing sempat bermukim selama enam bulan di Sriwijaya untuk mendalami
bahasa Sansekerta. I-tsing juga menganjurkan, jika seorang pendeta Cina ingin belajar ke
India, sebaiknya belajar dulu setahun atau dua tahun di Fo-shih (Palembang), baru kemudian
belajar di India. Sepulangnya dari Nalanda, I-tsing menetap di Sriwijaya selama tujuh tahun
(688-695 M) dan menghasilkan dua karya besar yaitu Ta T‘ang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan
dan Nan-hai-chi-kuei-nei-fa-chuan (A Record of the Budhist Religion as Practised in India and
the Malay Archipelago) yang selesai ditulis pada tahun 692 M. Ini menunjukkan bahwa,
Sriwijaya merupakan salah satu pusat agama Budha yang penting pada saat itu.
Sampai awal abad ke-11 M, Kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat studi agama Buddha
Mahayana. Dalam relasinya dengan India, raja-raja Sriwijaya membangun bangunan suci
agama Budha di India. Fakta ini tercantum dalam dua buah prasasti, yaitu prasasti Raja
Dewapaladewa dari Nalanda, yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 M; dan prasasti Raja
Rajaraja I yang berangka tahun 1044 M dan 1046 M.
Prasasti pertama menyebutkan tentang Raja Balaputradewa dari Suwarnadwipa (Sriwijaya)
yang membangun sebuah biara; sementara prasasti kedua menyebutkan tentang Raja Kataha
dan Sriwijaya, Marawijayayottunggawarman yang memberi hadiah sebuah desa untuk
dipersembahkan kepada sang Buddha yang berada dalam biara Cudamaniwarna, Nagipattana,
India.
Di bidang perdagangan, Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang sangat
baik dengan saudagar dari Cina, India, Arab dan Madagaskar. Hal itu bisa dipastikan dari
temuan mata uang Cina, mulai dari periode Dinasti Song (960-1279 M) sampai Dinasti Ming
(abad 14-17 M). Berkaitan dengan komoditas yang diperdagangkan, berita Arab dari Ibn al-
Fakih (902 M), Abu Zayd (916 M) dan Mas‘udi (955 M) menyebutkan beberapa di antaranya,
yaitu cengkeh, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading,
timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, dan penyu. Barang-barang ini
dibeli oleh pedagang asing, atau dibarter dengan porselen, kain katun dan kain sutra.
Sumber :
1. Slamet Muljana, Sriwijaya, Yogyakarta: LkiS
2. D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Usaha Nasional.
3. Ensiklopedi Nasional Indonesia
4. Tim Universitas Riau, Sejarah Riau, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
5. Rakaryan Sukarjaputra, Kompas: 29 Juni 2001
6. Wikipedia
KERAJAAN KUTAI
1. Sejarah
Sejarah mengenai kerajaan Kutai berikut terbagi menjadi dua fase: (1), era Kutai
Martadipura, dan (2), era Kutai Kartanegara. Berikut ini sekilas sejarahnya.
a. Kutai Martadipura
Berdasarkan data tektual tertua yang ditemukan, Kutai merupakan kerajaan tertua di
Indonesia. Kerajaan ini diperkirakan muncul pada abad 5 M, atau ± 400 M. Keberadaan
kerajaan tersebut diketahui berdasarkan prasasti berbentuk Yupa/tiang batu berjumlah 7
buah, yang ditemukan di daerah Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Prasasti Yupa yang menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta tersebut
menceritakan tentang seorang raja bernama Mulawarman, yang menjadi raja di Kerajaan
Kutai Martadipura. Raja Mulawarman adalah putra Raja Aswawarman, dan cucu dari Maharaja
Kudungga. Pengetahuan mengenai keberadaan Kerajaan Kutai Martadipura ini sangat minim.
Selama ini, para arkeologi amat bertumpu pada informasi tertulis yang terdapat pada prasasti
dan Salasilah Kutai.
b. Kutai Kartanegara Ing Martadipura
Secara umum, penelitian sejarah mengenai Kutai amat kurang. Bahkan, situs purbakala
tempat ditemukannya peninggalan Kerajaan Kutai banyak yang rusak akibat kegiatan
penambangan. Periode gelap sejarah Kutai ini sedikit terkuak pada abad 13 ke atas, seiring
berdirinya Kerajaan Kutai Kartanegara, dengan raja pertama Aji Batara Agung Dewa Sakti
(1300-1325). Pusat kerajan berada di Tepian Batu atau Kutai Lama.
Dalam perkembangannya, Raja Kutai Kartanegara, Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil
menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura pada abad ke-16, dan menyatukannya dengan
kerajaannya, Kutai Kartanegara. Selanjutnya, gabungan dua kerajaan tersebut dinamakannya
Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Pada abad ke-17, Islam mulai mulai masuk dan diterima dengan baik di Kerajaan Kutai
Kartanegara. Selanjutnya, Islam menjadi agama resmi di kerajaan ini, dan gelar raja diganti
dengan sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji
Muhammad Idris (1735-1778).
Di era pemerintahan Sultan Aji Muhammad Idris, ia bersama pengikutnya berangkat ke
daerah Wajo untuk membantu Sultan Wajo Lamaddukelleng yang juga menantunya itu,
berperang melawan VOC Belanda. Selama Sultan pergi, kerajaan dipimpin oleh sebuah Dewan
Perwalian. Pada tahun 1739, Sultan A.M. Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris,
tahta kerajaan direbut oleh Aji Kado, yang sebenarnya tidak berhak atas tahta kerajaan.
Dalam peristiwa perebutan tahta ini, Putera Mahkota Aji Imbut yang masih kecil terpaksa
dilarikan ke Wajo, tanah kakeknya. Sejak itu, Aji Kado secara resmi berkuasa di Kutai dengan
gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang sah dari Kesultanan Kutai
Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada
mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar
Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di
Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu, dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan berlangsung dengan cara mengembargo Pemarangan, ibukota Kutai Kartanegara.
Dalam perlawanan ini, Aji Imbut dibantu oleh para bajak laut dari Sulu. Pemarangan
mengalami kesulitan untuk menumpas blokade Aji Imbut yang dibantu para bajak laut ini.
kemudian Aji Kado meminta bantuan VOC, namun tidak bisa dipenuhi oleh Belanda. Akhirnya,
Aji Imbut berhasil merebut kembali tahta Kutai Kartanegara dan menjadi raja dengan gelar
Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Sementara Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di
Pulau Jembayan.
Setelah menjadi raja, Aji Imbut memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke
Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghapus
kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado, dan juga, Pemarangan (ibukota sebelumnya)
dianggap telah kehilangan tuahnya. Karena raja berpindah ke Tepian Pandan, maka nama
Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja. Lambat
laun, Tangga Arung disebut orang dengan Tenggarong. Nama tersebut tetap bertahan hingga
saat ini. Pada tahun 1883, Aji Imbut mangkat dan digantikan oleh Sultan Aji Muhammad
Salehuddin.
c. Era Kolonial Eropa
Hubungan dengan Eropa diawali dengan datangnya dua buah kapal dagang Inggris pimpinan
James Erskine Murray pada tahun 1844. Inggris datang untuk meminta tanah tempat mereka
mendirikan pos dagang. Inggris juga menuntut hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di
perairan Mahakam. Permintaan Inggris ditolak Sultan A.M. Salehuddin. Selanjutnya, Sultan
hanya mengizinkan Murray berdagang di wilayah Samarinda saja. Murray tidak puas dengan
keputusan Sultan ini. Karena itu, Murray kemudian melepaskan tembakan meriam ke arah
istana. Pasukan kerajaan Kutai melakukan perlawanan hingga mereka berhasil mengalahkan
Inggris. Pasukan Inggris melarikan diri, sementara Murray sendiri tewas dalam pertempuran
tersebut.
Insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendak
melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda, bahwa
Kutai adalah salah satu bagian wilayah Hindia Belanda. Oleh karena itu, masalah ini menjadi
tanggungjawab Belanda. Sebagai tindak lanjut, Belanda kemudian mengirimkan armadanya
untuk menyerang Kutai. Dalam pertempuran mempertahankan Tenggarong, Panglima Kutai
Awang Lor gugur di medan pertempuran. Sementara Sultan A.M. Salehuddin diungsikan ke
Kota Bangun. Sejak saat itu, Kutai takluk di bawah kekuasaan Belanda.
Sebagai tindak lanjut, tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus
menandatangani perjanjian dengan Belanda, yang berisi pengakuan dan ketundukan pada
Belanda. Perwakilan Belanda berkedudukan di Banjarmasin. Pada tahun 1863, kerajaan Kutai
Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati
bahwa, Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.
Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur
tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak
pertama di wilayah Kutai. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan
kepada Sultan Sulaiman.
Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai kembali harus tunduk
pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Ketika itu, Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo
dengan nama kerajaan Kooti.
Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status
Daerah Swapraja, masuk dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah kesultanan
lainnya, seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir. Kemudian dibentuk pula
Dewan Kesultanan. Pada 27 Desember 1949, Kutai masuk dalam Republik Indonesia Serikat.
2. Silsilah
Hingga saat ini, para arkeolog belum mengetahui secara lengkap silsilah para raja di era Kutai
Martadipura. Tapi diyakini bahwa, pendiri keluarga atau dinasti kerajaan ini adalah
Aswawarman. Dalam prasasti Yupa juga dijelaskan bahwa, Aswawarman disebut sebagai
Dewa Ansuman/Dewa Matahari dan dipandang sebagai Wangsakerta, atau pendiri keluarga
raja. Ini menunjukkan bahwa, Asmawarman sudah menganut agama Hindu dan dipandang
sebagai pendiri keluarga atau dinasti dalam Agama Hindu. Sebelum Aswawarman, yang
berkuasa di Kutai Martadipura adalah Maharaja Kudungga.
Berbeda dengan Kutai Martadipura, silsilah para raja di era Kutai Kartanegara yang berdiri di
abad ke-13 bisa dilacak secara lengkap. Berikut urutan raja-raja yang berkuasa hingga saat
ini.
1. Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325)
2. Aji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360)
3. Aji Maharaja Sultan (1360-1420)
4. Aji Raja Mandarsyah (1420-1475)
5. Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545)
6. Aji Raja Mahkota Mulia Alam (1545-1610)
7. Aji Dilanggar (1610-1635)
8. Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura (1635-1650)
9. Aji Pangeran Dipati Agung ing Martapura (1650-1665)
10. Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura (1665-1686)
11. Aji Ragi gelar Ratu Agung (1686-1700)
12. Aji Pangeran Dipati Tua (1700-1730)
13. Aji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura (1730-1732)
14. Aji Muhammad Idris (1732-1778)
15. Aji Muhammad Aliyeddin (1778-1780)
16. Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816)
17. Aji Muhammad Salehuddin (1816-1845)
18. Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899)
19. Aji Muhammad Alimuddin (1899-1910)
20. Aji Muhammad Parikesit (1920-1960)
21. H. Aji Muhammad Salehuddin II (1999-kini)
3. Periode Pemerintahan
Jika dirunut, masa pemerintahan Kutai Martadipura berlangsung sejak masa Kudungga pada
abad ke-5 hingga digabungnya kerajaan ini pada abad ke-13 ke dalam Kerajaan Kutai
Kartanegara akibat kalah perang. Sementara Kerajaan Kutai Kartanegara berlangsung sejak
abad ke-13 hingga saat ini.
4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kutai Martadipura mencakup wilayah Kalimantan Timur saat ini, terutama
daerah aliran Sungai Mahakam. Sementara wilayah kekuasaan Kutai Ing Martadipura,
mencakup wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Barat, Kutai
Timur, Bontang , Samarinda dan Balikpapan.
5. Struktur Pemerintahan
Belum didapat data arkeologis yang lengkap mengenai sistem dan struktur pemerintahan di
Kerajaan Kutai. Dari data arkeologis yang menunjukkan pengaruh Hindu di Kerajaan ini, maka
bisa disimpulkan bahwa Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja. Namun, tidak bisa dilacak
lebih lanjut, bagaimana struktur pemerintahan yang lebih rendah.
6. Kehidupan Sosial-Budaya
Sejarah Kerajaan Kutai Martadipura merupakan periode yang masih gelap. Sedikit sekali
bukti-bukti arkeologis yang ditemukan untuk mngugnkap sejarah tersebut. Selama ini, bukti
tersebut terlalu bersadnar pada penemuan 7 prasasti Yupa, ditambah naskah Salasilah Kutai.
Namun, dari data yang masih sangat minim tersebut, bisa diungkap sedikit tentang kehidupan
sosial budaya di masa lalu.
a. Kehidupan Sosial
Dalam kehidupan sosial terjalin hubungan yang harmonis antara Raja Mulawarman dengan
kaum Brahmana. Dalam prasasti Yupa dijelaskan bagaimana Raja Mulawarman memberi
persembahan emas yang sangat banyak, dan juga sedekah 20.000 ekor sapi kepada kaum
Brahmana di dalam tanah yang suci bernama Waprakeswara. Waprakeswara adalah tempat
suci untuk memuja dewa Syiwa. Di pulau Jawa, tanah suci ini disebut Baprakewara.
Tidak diketahui secara pasti asal emas dan sapi tersebut diperoleh. Apabila emas dan sapi
tersebut didatangkan dari tempat lain, maka, bisa disimpulkan bahwa kerajaan Kutai telah
melakukan kegiatan dagang.
b. Kehidupan Budaya
Dalam kehidupan budaya dapat dikatakan kerajaan Kutai sudah cukup maju. Hal ini bisa
dilihat dari prosesi penghinduan (pemberkatan memeluk agama Hindu), atau disebut juga
upacara Vratyastoma yang telah dilakukan di kerajaan ini. Upacara Vratyastoma dilaksanakan
pertama kalinya di era pemerintahan Aswawarman. Pemimpin upacara Vratyastoma, menurut
para ahli adalah para pendeta (Brahmana) dari India. Tetapi pada masa Mulawarman,
kemungkinan sekali upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana
pribumi. Keberadaan kaum Brahmana dari penduduk pribumi menunjukkan mereka telah
memiliki kemampuan intelektual yang cukup tinggi, sebab untuk menjadi Brahmana
mensyaratkan penguasaan bahasa Sanskerta.
Selain itu, dari berbagai benda purbakala yang berhasil ditemukan di Kalimantan Timur,
menunjukkan di kawasan tersebut telah eksis suatu komunitas budaya dengan peradaban
yang cukup tinggi. Bahkan ada yang memperkirakan eksistensi komunitas budaya ini telah
ada sejak ribuan tahun yang lalu, di masa pra sejarah. Di antara temuan yang sangat menarik
adalah goa-goa di Kalimantan Timu, di kawasan Gunung Marang, sekitar 400 kilometer utara
Balikpapan. Dalam goa tersebut, juga ditemukan pecahan-pecahan perkakas tembikar dan
sejumlah makam. Goa yang berfungsi sebagai tempat tinggal ini juga dilengkapi dengan
hiasan-hiasan atau lukisan purbakala pada dindingnya. Temuan ini diduga berasal dari zaman
prasejarah yang telah berusia 10.000 tahun. Ini menunjukkan kawasan ini telah cukup maju.
Dalam penggalian lain di situs sejarah Kerajaan Kutai, juga ditemukan berbagai artefak,
seperti reruntuhan candi berupa peripih, manik-manik, gerabah, patung perunggu dan
keramik yang sangat indah.
Sumber:
1. www.e-dukasi.net
2. www.KutaiKartanegara.com
3. Prasetyo Eko Prihananto, Sejarah Kita Berawal Dari Kutai, dalam Kompas 3 November 2004.
KERAJAAN BANJAR
1. Sejarah
Penghuni pertama Kalimantan Selatan diperkirakan terkonsentrasi di desa-desa besar, di
kawasan pantai kaki Pegunungan Meratus yang lambat laun berkembang menjadi kota-kota
bandar yang memiliki hubungan perdagangan dengan India dan Cina. Dalam
perkembangannya, konsentrasi penduduk juga terjadi di aliran Sungai Tabalong. Pada abad ke
5 M, diperkirakan telah berdiri Kerajaan Tanjungpuri yang berpusat di Tanjung, Tabalong.
Jauh beberapa abad kemudian, orang-orang Melayu dari Sriwijaya banyak yang datang ke
kawasan ini. Mereka memperkenalkan bahasa dan kebudayaan Melayu sambil berdagang.
Selanjutnya, kemudian terjadi asimilasi dengan penduduk tempatan yang terdiri dari suku
Maanyan, Lawangan dan Bukit. Maka, kemudian berkembang bahasa Melayu yang bercampur
dengan bahasa suku-suku daerah tempatan, yang kemudian membentuk bahasa Banjar
Klasik.
Untuk mengetahui sejarah Banjar lebih lanjut, historiografi tradisional masyarakat tempatan
sangat banyak membantu. Di antara sumber yang paling populer adalah Hikayat Lambung
Mangkurat, atau Hikayat Banjar. Berdasarkan sumber tersebut, di daerah Banjar telah berdiri
Kerajaan Hindu, yaitu Negara Dipa yang berpusat di Amuntai. Kemudian berdiri Negara Daha
yang berpusat di daerah sekitar Negara sekarang. Menurut Hikayat Banjar tersebut, Negara
Dipa adalah kerajaan pertama di Kalimantan Selatan.
Cikal bakal Raja Dipa bisa dirunut dari keturunan Aria Mangkubumi. Ia adalah seorang
saudagar kaya, tapi bukan keturunan raja. Oleh sebab itu, berdasarkan sistem kasta dalam
Hindu, ia tidak mungkin menjadi raja. Namun, dalam pratiknya, ia memiliki kekuasaan dan
pengaruh yang dimiliki oleh seorang raja. Ketika ia meninggal, penggantinya adalah Ampu
Jatmika, yang kemudian menjadi raja pertama Negara Dipa. Untuk menutupi kekurangannya
yang tidak berasal dari keturunan raja, Jatmika kemudian banyak mendirikan bangunan,
seperti candi, balairung, kraton dan arca berbentuk laki-laki dan perempuan yang ditempatkan
di candi. Segenap warga Negara Dipa diwajibkan menyembah arca ini.
Ketika Ampu Jatmika meninggal dunia, ia berwasiat agar kedua anaknya, Ampu Mandastana
dan Lambung Mangkurat tidak menggantikannya, sebab mereka bukan keturunan raja. Tapi
kemudian, Lambung Mangkurat berhasil mencari pengganti raja, dengan cara mengawinkan
seorang putri Banjar, Putri Junjung Buih dengan Raden Putera, seorang pangeran dari
Majapahit. Setelah menjadi raja, Raden Putera memakai gelar Pangeran Suryanata,
sementara Lambung Mangkurat memangku jabatan sebagai Mangkubumi.
Setelah Negara Dipa runtuh, muncul Negara Daha yang berpusat di Muara Bahan. Saat itu,
yang memerintah di Daha adalah Maharaja Sukarama. Ketika Sukarama meninggal, ia
berwasiat agar cucunya Raden Samudera yang menggantikan. Tapi, karena masih kecil,
akhirnya Raden Samudera kalah bersaing dengan pamannya, Pangeran Tumenggung yang
juga berambisi menjadi raja. Atas nasehat Mangkubumi Aria Tranggana dan agar terhindar
dari pembunuhan, Raden Samudera kemudian melarikan diri dari Daha, dengan cara menghilir
sungai melalui Muara Bahan ke Serapat, Balandian, dan memutuskan untuk bersembunyi di
daerah Muara Barito. Di daerah aliran Sungai Barito ini, juga terdapat beberapa desa yang
dikepalai oleh para kepala suku. Di antara desa-desa tersebut adalah Muhur, Tamban, Kuwin,
Balitung dan Banjar. Kampung Banjar merupakan perkampungan Melayu yang dibentuk oleh
lima buah sungai yakni Sungai Pandai, Sungai Sigaling, Sungai Karamat, Jagabaya dan Sungai
Pangeran (Pageran). Semuanya anak Sungai Kuwin. Desa Banjar ini terletak di tengah-tengah
pemukiman Oloh Ngaju di Barito Hilir.
Orang-orang Dayak Ngaju menyebut orang yang berbahasa Melayu dengan sebutan Masih.
Oleh karena itu, desa Banjar tersebut kemudian disebut Banjarmasih, dan pemimpinnya
disebut Patih Masih. Desa-desa di daerah Barito ini semuanya takluk di bawah Daha dengan
kewajiban membayar pajak dan upeti. Hingga suatu ketika, Patih Masih mengadakan
pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk berunding, agar
bisa keluar dari pengaruh Daha, dan menjadikan kawasan mereka merdeka dan besar.
Keputusannya, mereka sepakat mencari Raden Samudera, cucu Maharaja Sukarama yang
kabarnya sedang bersembunyi di daerah Balandean, Sarapat. Kemudian, mereka juga sepakat
memindahkan bandar perdagangan ke Banjarmasih. Selanjutnya, di bawah pimpinan Raden
Samudera, mereka memberontak melawan kerajaan Daha. Peristiwa ini terjadi pada abad ke-
16 M. Pemberontakan ini amat penting, karena telah mengakhiri eksistensi Kerajaan Daha,
yang berarti akhir dari era Hindu. Selanjutnya, masuk ke era Islam dan berdirilah Kerajaan
Banjar.
Dalam sejarah pemberontakan itu, Raden Samudera meminta bantuan Kerajaan Demak di
Jawa. Dalam Hikayat Banjar disebutkan, Raden Samudera mengirim duta ke Demak untuk
mengadakan hubungan kerja sama militer. Utusan tersebut adalah Patih Balit, seorang
pembesar Kerajaan Banjar. Utusan menghadap Sultan Demak dengan seperangkat hadiah
sebagai tanda persahabatan berupa sepikul rotan, seribu buah tudung saji, sepuluh pikul lilin,
seribu bongkah damar dan sepuluh biji intan. Pengiring duta kerajaan ini sekitar 400 orang.
Demak menyambut baik utusan ini, dan sebagai persyaratan, Demak meminta kepada utusan
tersebut, agar Raja Banjar dan semua pembesar mau memeluk agama Islam. Atas bantuan
Demak, Pangeran Samudera berhasil mengalahkan Pangeran Tumenggung, penguasa Daha,
sekaligus menguasai seluruh daerah taklukan Daha.
Setelah berhasil meruntuhkan dan menguasai kerajaan Daha, maka Raden (Pangeran)
Samudera segera menunaikan janji untuk memeluk Islam. Setelah masuk Islam, ia memakai
gelar Sultan Suriansyah. Gelar lainnya adalah Panembahan atau Susuhunan Batu Habang.
Dialah Raja Banjar pertama yang memeluk Islam, dan sejak itu, agama Islam berkembang
pesat di Kalimantan Selatan. Pangeran Samudera (Sultan Suriansyah) diislamkan oleh wakil
penghulu Demak, Khatib Dayan pada tanggal 24 September 1526 M, hari Rabu jam 10 pagi,
bertepatan dengan 8 Zulhijjah 932 H. Khatib Dayan merupakan utusan Penghulu Demak
Rahmatullah, dengan tugas melakukan proses pengislaman raja beserta pembesar kerajaan.
Khatib Dayan bertugas di Kerajaan Banjar sampai ia meninggal dunia, dan dikuburkan di
Kuwin Utara.
Sultan Suriansyah telah membuka era baru di Kerajaan Banjar dengan masuk dan
berkembangnya agama Islam. Kerajaan Banjar yang dimaksud di sini adalah kerajaan pasca
masuknya agama Islam. Sementara era Negara Dipa dan Daha merupakan era tersendiri
yang melatarbelakangi kemunculan Kerajaan Banjar. Diperkirakan, Suriansyah meninggal
dunia sekitar tahun 1550 M. Seiring masuknya kolonial kulit putih Eropa, Kerajaan Banjar
kemudian dihapuskan oleh Belanda pada 11 Juni 1860.
2. Silsilah
Silsilah berikut dimulai dari era masuknya Islam di Kerajaan Banjar. Berikut silsilahnya:
· Raja I adalah Sultan Suriansyah, putera dari pasangan Ratu Intan Sari atau Puteri
Galuh dengan Raden Manteri Jaya. Suriansyah cucu Maharaja Sukarama Raja dari
Kerajaan Negara Daha. Bergelar Panembahan atau Susuhunan Batu Habang.
· Raja II adalah Sultan Rahmatullah, putera Sultan Suriansyah. Ia bergelar Susuhunan
Batu Putih
· Raja III adalah Sultan Hidayatullah, cucu Sultan Suriansyah. Ia bergelar Susuhunan
Batu Irang.
· Raja IV adalah Sultan Mustainbillah.
3. Periode Pemerintahan
Untuk mengetahui nama raja-raja Banjar yang pernah memerintah di Kerajaan Banjar serta
periode pemerintahannya, dapat dilihat pada tabel berikut:
Raja Ke Nama Raja Masa Hidup Periode Pemerintahan
I Sultan Suriansyah wafat 1550 M 1526 - 1550 M
II Sultan Rahmatullah - 1550 - 1570 M
III Sultan Hidayatullah - 1570 - 1595 M
IV Sultan Mustainbillah - -
4. Wilayah Kekuasaan
Setelah Pangeran Samudera atau Sultan Sariansyah berhasil meruntuhkan kerajaan Daha,
maka seluruh wilayah kekuasaan kerajaan Daha otomatis dikuasainya. Wilayah tersebut
meliputi sepanjang Sungai Barito, Sungai Kuwin, Balabong, dan sebagian besar wilayah
Kalimantan Timur.
5. Struktur Pemerintahan
Untuk mengatur pemerintahan, Sultan dibantu oleh para Patih, Mufti dan Penghulu.
6. Kehidupan Sosial Budaya
Dalam kehidupan masyarakat Banjar terdapat susunan dan peranan sosial yang berbentuk
limas (lapisan). Lapisan paling atas adalah golongan penguasa yang merupakan golongan
minoritas. Mereka adalah kaum bangsawan atau “bubuhan raja-raja”. Penghargaan
masyarakat terhadap golongan bangsawan ini sesuai dengan derajat kebangasawanannya.
Mereka, secara turun-temurun, menjadi golongan terhormat dan berdarah bangsawan, serta
mempunyai gelar-gelar seperti sultan, pangeran, ratu, gusti, andin, antung, dan nanang.
Golongan ini mempunyai hak memungut cukai dari hasil bumi, hasil pertanian, perikanan dan
lain-lain.
Golongan kedua adalah pejabat kerajaan, ulama-ulama, mufti, dan penghulu. Golongan ini
langsung berhubungan dengan penduduk. Segala macam barang yang diperdagangkan
mereka beli dari masyarakat dan dibayar dengan uang. Mufti sebagai pejabat formal
mengurus segala perkara hukum pada tingkat tinggi. Sementar ulama-ulama menyampaikan
ajaran agama Islam.
Golongan ketiga merupakan golongan terbesar, yaitu rakyat biasa. Mereka itu adalah
golongan yang hidup dari pertanian dan perdagangan kecil-kecilan, nelayan, kerajinan,
industri, dan pertukangan.
Golongan bawah adalah golongan pandeling. Golongan pandeling adalah mereka yang
kehilangan setengah kemerdekaan akibat hutang-hutang yang tak dapat mereka bayar.
Biasanya, merekalah yang menjalankan perdagangan dari golongan bangsawan atau
pedagang-pedangan kaya. Golongan ini berakhir pada abad ke-19, seiring dengan
dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda.
Berkaitan dengan kehidupan budaya, telah berkembang beberapa corak seni dan sastra. Saat
itu, Banjar telah memiliki gamelan yang dipukul dengan lemah lembut, seni sastra
berkembang dengan menggunakan huruf Arab Melayu (Jawi), dan kemungkinan, juga telah
berkembang suatu seni, hasil perpaduan antara tonil Melayu dan cerita Seribu Satu Malam.
Seni ukir berkembang karena adanya kebiasaan para bangsawan dan orang kaya untuk
membuat rumah secara mewah, yang dipenuhi dengan ukiran indah. Corak seni lain yang juga
telah berkembang dan amat kuat dipengaruhi kebudayaan Islam adalah mahidin dan balamut.
Ini semua menunjukkan bahwa, di Kerajaan Banjar telah berkembang suatu seni budaya
dengan coraknya yang khas.
Sumber:
1. Sejarah Banjar,
2. Profil Republik Indonesia, Kalimatan Selatan. Jakarta: Yayasan Bakti Wawasan Nusantara. 1992
3. Depdikbud, Komplek Makam Sultan Suriansyah.
4. Imansyah Mahbara, Komplek Makam Sultan Suriansyah, Depdikbud Kalsel, 1988
KERAJAAN GOWA
1. Sejarah
Menurut mitologi, sebelum kedatangan Tomanurung di tempat yang kemudian menjadi bagian
dari wilayah kerajaan Gowa, sudah terbentuk sembilan pemerintahan otonom yang disebut
Bate Selapang atau Kasuwiyang Salapang (gabungan/federasi). Sembilan pemerintahan
otonom tersebut adalah Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agang Jekne, Bissei, Kalling
dan Serro. Pada awalnya, kesembilan pemerintahan otonom ini hidup berdampingan dengan
damai, namun, lama kelamaan, muncul perselisihan karena adanya kecenderugnan untuk
menunjukkan keperkasaan dan semangat ekspansi. Untuk mengatasi perselisihan ini,
kesembilan pemerintahan otonom ini kemudian sepakat memilih seorang pemimpin di antara
mereka yang diberi gelar Paccallaya. Ternyata rivalitas tidak berakhir dengan kesepakan ini,
karena masing-masing wilayah berambisi menjadi ketua Bate Selapang. Di samping itu,
Paccallaya ternyata juga tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Hingga
suatu ketika, tersiar kabar bahwa di suatu tempat yang bernama Taka Bassia di Bukit
Tamalate, hadir seorang putri yang memancarkan cahaya dan memakai dokoh yang indah.
Mendengar ada seorang putri di Taka Basia, Paccallaya dan Bate Salapang mendatangi tempat
itu, duduk tafakkur mengelilingi cahaya tersebut. Lama-kelamaan, cahaya tersebut menjelma
menjadi wanita cantik, yang tidak diketahui nama dan asal-usulnya. Oleh karena itu, mereka
menyebutnya Tomanurung. Lalu, Paccallaya bersama Kasuwiyang Salapang berkata pada
Tomanurung tersebut, “kami semua datang kemari untuk mengangkat engkau menjadi raja
kami, sudilah engkau menetap di negeri kami dan sombaku lah yang merajai kami”. Setelah
permohonan mereka dikabulkan, Paccallaya bangkit dan berseru, “Sombai Karaeng Nu To
Gowa (sembahlah rajamu wahai orang-orang Gowa).
Tidak lama kemudian, datanglah dua orang pemuda yang bernama Karaeng Bayo dan
Lakipadada, masing-masing membawa sebilah kelewang. Paccallaya dan kasuwiyang
kemudian mengutarakan maksud mereka, agar Karaeng Bayo dan Tomanurung dapat
dinikahkan agar keturunan mereka bisa melanjutkan pemerintahan kerajaan Gowa. Kemudain
semua pihak di situ membuat suatu ikrar yang intinya mengatur hak, wewenang dan
kewajiban orang yang memerintah dan diperintah. Ketentuan tersebut berlaku hingga
Tomanurung dan Karaeng Bayo menghilang, ketika anak tunggal mereka Tumassalangga
Baraya lahir. Anak tunggal inlah yang selanjutnya mewarisi kerajaan Gowa.
Kerajaan Gowa mencapai puncak keemasannya pada abad XVI yang lebih populer dengan
sebutan kerajaan kembar “Gowa-Tallo” atau disebut pula zusterstaten (kerajaan bersaudara).
Kerajaan Dwi-Tunggal ini terbentuk pada masa pemerintahan Raja Gowa IX, Karaeng
Tumaparissi Klonna (1510-1545), dan ini sangat sulit dipisahkan karena kedua kerajaan telah
menyatakan ikrar bersama, yang terkenal dalam pribahasa “Rua Karaeng Na Se’re Ata” (“Dua
Raja tetapai satu rakyat”). Oleh karena itu, kesatuan dua kerajaan itu disebut Kerajaan
Makassar.
Masa kejayaan Kerajaan Gowa tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh Karaeng
Patingalloang, Mangkubumi Kerajaan yang berkuasa 1639-1654. Nama lengkapnya adalah I
Mangadicinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud, putra Raja Tallo VII, Mallingkaang Daeng Nyonri
Karaeng Matowaya. Sewaktu Raja Tallo I Mappaijo Daeng Manyuru diangkat menjadi raja
Tallo, usianya baru satu tahun. Karaeng Pattingalloang diangkat untuk menjalankan
kekuasaannya sampai I Mappoijo cukup usia. Oleh karena itu dalam beberapa catatan
disebutkan bahwa Karaeng Pattingalloang adalah Raja Tallo IX.
Karaeng Pattingalloang diangkat menjadi sebagai Mengkubumi Kerajaan Gowa-Tallo pada
tahun 1639-1654, mendampingi Sultan Malikussaid, yang memerintah pada tahun 1639-1653.
Karaeng Pattingalloang, dilantik menjadi Tumabbicara Butta Kerajaan pada hari Sabtu,
tanggal 18 Juni 1639. Jabatan itu didapatkannya setelah ia menggantikan ayahnya Karaeng
Matowaya. Pada saat ini menjabat Mangkubumi, Karajaan Makassar telah menjadi sebuah
kerajaan terkenal dan banyak mengundang perhatian negeri-negeri lainnya.
Karaeng Pattingalloang adalah putra Gowa yang kepandaiannya atau kecakapannya melebihi
orang-orang Bugis Makassar pada umumnya. Dalam usia 18 tahun ia telah menguasai banyak
bahasa, di antaranya bahasa Latin, Yunani, Itali, Perancis, Belanda, Arab, dan beberapa
bahasa lainnya. Selain itu juga memperdalam ilmu falak. Pemerintah Belanda melalui wakilwakilnya
di Batavia di tahun 1652 menghadiahkan sebuah bola dunia (globe) yang khusus
dibuat di negeri Belanda, yang diperkirakan harganya f 12.000. Beliau meninggal pada tanggal
17 September 1654 di Kampung Bontobiraeng. Sebelum meninggalnya ia telah
mempersiapkan 500 buah kapal yang masing-masing dapat memuat 50 awak untuk
menyerang Ambon.
Karaeng Pattingolloang adalah juga seorang pengusaha internasional, beliau bersama dengan
Sultan Malikussaid berkongsi dengan pengusaha besar Pedero La Matta, Konsultan dagang
Spanyol di Bandar Somba Opu, serta dengan seorang pelaut ulung Portugis yang bernama
Fransisco Viera dengan Figheiro, untuk berdagang di dalam negeri. Karaeng Pattingalloang
berhasil mengembangkan/meningkatkan perekonomian dan perdagangan Kerajaan Gowa. Di
kota Raya Somba Opu, banyak diperdagangkan kain sutra, keramik Cina, kain katun India,
kayu Cendana Timor, rempah-rempah Maluku, dan Intan Berlian Borneo.
Pada pedagang-pedagang Eropa yang datang ke Makassar biasanya membawa buah tangan
yang diberikan kepada para pembesar dan bangsawan-bangsawan di Kerajaan Gowa. Buah
tangan itu kerap kali juga disesuaikan dengan pesan yang dititipkan ketika mereka kembali ke
tempat asalnya. Karaeng Pattingalloang ketika diminta buah tangan apa yang diinginkannya,
jawabnya adalah buku. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Karaeng Pattingalloang
memiliki banyak koleksi buku dari berbagai bahasa.
Karaeng Pattingalloang adalah sosok cendikiawan yang dimiliki oleh Kerajaan Makassar ketika
itu. Karena itu pedulinya terhadap ilmu pengetahuan, sehingga seorang penyair
berkebangsaan Belanda yang bersama Joost van den Vondel, sangat memuji
kecendikiawannya dan membahasakannya dalam sebuah syair sebagai berikut:
“Wiens aldoor snuffelende brein
Een gansche werelt valt te klein”
Yang artinya sebagai berikut:
“Orang yang pikirannya selalu dan terus menerus mencari sehingga seluruh dunia rasanya
terlalu sempit baginya”.
Karaeng Patingalloang tampil sebagai seorang cendekiawan dan negarawan di masa lalu.
Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pernah berpesan untuk generasi yang ditinggalkan
antara lain sebagai berikut:
Ada lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu:
1. Punna taenamo naero nipakainga’ Karaeng Mangguka,
2. Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Pa’rasangnga,
3. Punna taenamo gau lompo ri lalang Pa’rasanganga,
4. Punna angngallengasemmi soso’ Pabbicaraya, dan
5. Punna taenamo nakamaseyangi atanna Mangguka.
Yang artinya sebagai berikut :
1. Apabila raja yang memerintah tidak mau lagi dinasehati atau diperingati,
2. Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri,
3. Apabila sudah terlampau banyak kasus-kasus di dalam negeri,
4. Apabila sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok, dan
5. Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya.
Beliau wafat ketika ikut dalam barisan Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Setelah
wafatnya, ia kemudian mendapat sebutan “Tumenanga ri Bonto Biraeng”.
Dari sudut pandang terminologi, belum ada kesempatan (konsensus) arti kata Gowa yang
menjelaskan secara utuh asal-usul kata serapan Gowa. Arti yang ada hanyalah asumsi dan
perkiraan antara lain: pertama, kata Gowa berasal dari “goari”, yang berarti kamar atau
bilik/perhimpun; kedua, berasal dari kata “gua”, yang berarti liang yang berkait dengan
tempat kemunculan awal Tomanurung ri Gowa (Raja Gowa I) di gua/perbukitan Taka Bassia,
Tamalate (dalam bahasa Makassar artinya tidak layu) yang kemudian secara politik kata Gowa
dipakai untuk mengintegrasikan kesembilan kasuwiang (Bate Salapang) yang bersifat federasi
di bawah paccallaya, yang kemudian menjadi kekuasaan tunggal Tomanurung, sehingga
leburlah Bate Salapang menjadi Kerajaan “Gowa” yang diperkirakan berdiri pada abad XIII
(1320).
Sampai masa kekuasaan Raja Gowa VIII I Pakere’ Tau Tunnijallo ri Passukki, pemerintahan
kerajaan dipusatkan di Taka Bassia (Tamalate) sebagai istana Raja Gowa I. Kemudian istana
raja ini dipindahkan ke Somba Opu oleh Raja Gowa IX Daeng Mantare Karaeng Mengunungi
yang bergelar Tumapa’risi Kallonna karena dianggap lebih menguntungkan dan strategis
sebagai kerajaan yang maju di bidang ekonomi dan politik. Pada masa inilah Kerajaan Gowa
mulai memperluas kekuasaannya dan menaklukkan berbagai daerah sekitarnya termasuk
menjalin hubungan kerjasama dan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan lain. Hal ini
berlangsung sampai Raja Gowa XII, I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa
(1565-1590). Ambisi itulah yang menjadikan Kerajaan Gowa-Tallo menjadi kerajaan besar.
Bandar yang dimilikinya menjadi bandar persinggahan niaga dunia yang sangat maju karena
telah memiliki berbagai fasilitas sebagaimana layaknya negara-negara besar lain di abad XVI
dan XVII. Pada waktu itu pemerintah menjalankan sistem politik terbuka berdasarkan teori
Mare Leberum (laut bebas) yang memberi jamina usaha para pedagang asing. Akan tetapi,
ambisi itu pula yang menciptakan persaingan yang bersifat terselubung (laten) ketika ingin
memegang hegomoni dan zuserenitas di Sulewasi, terutama persaingannya dengan Kerajaan
Bone. Ketika persaingan itu memuncak, Belanda memanfaatkan situasi tersebut dengan
melancarkan politik devide et impera (pecah belah dan kuasai) serta menerapkan sistem
monopoli yang sangat bertentangan dengan prinsip mare liberum hingga meletusnya perang
Makassar (1666-1669).
Di sisi lain, agama Islam salah satu alasan perlawanan Bone ketika Gowa berusaha
mengintroduksi agama Islam. Usaha itu diprakarsai oleh Raja Gowa XV I Mangerangi Daeng
Manrabbia Karaeng Lakiung bergelar Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna (1593-1639)
yang menjadi muslim pada tanggal 9 Jumadil 1051 H atau 20 September 1605. Beliau
berusaha mewujudkan penyatuan Sulawesi tetapi tidak terealisir sampai masa pemerintahan
Sultan Hasanuddin (1653-1669) yang berakhir dengan Pernjanjian Bungaya pada tanggal 18
November 1667 setelah Perang Makassar.
KESULTANAN TERNATE
1. Sejarah
a. asal usul
Pulau Ternate merupakan sebuah pulau gunung api seluas 40 km persegi, terletak di Maluku
Utara, Indonesia. Penduduknya berasal dari Halmahera yang datang ke Ternate dalam suatu
migrasi. Pada awalnya, terdapat empat kampung di Ternate, masing-masing kampung
dikepalai oleh seorang Kepala Marga, dalam bahasa Ternate disebut Momole. Lambat laun,
empat kampung ini kemudian bergabung membentuk sebuah kerajaan yang mereka namakan
Ternate. Selain Ternate, terdapat juga kerajaan lain di kawasan Maluku Utara, yaitu: Tidore,
Jailolo, Bacan, Obi dan Loloda.
Dalam sejarahnya, Ternate merupakan daerah terkenal penghasil rempah-rempah, karena itu,
banyak pedagang asing dari India, Arab, Cina dan Melayu yang datang untuk berdagang.
Sebagai wakil masyarakat, yang berhubungan dengan para pedagang tersebut adalah para
kepala marga (momole).
Bagaimana awal cerita pembentukan Kerajaan Ternate? Ceritanya, seiring semakin
meningkatnya aktifitas perdagangan, dan adanya ancaman eksternal dari para lanun atau
perompak laut, maka kemudian timbul keinginan untuk mempersatukan kampung-kampung
yang ada di Ternate, agar posisi mereka lebih kuat. Atas prakarsa momole Guna, pemimpin
Tobona, kemudian diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat
dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja. Hasilnya, momole Ciko, pemimpin
Sampalu, terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama pada tahun 1257 M dengan
gelar Baab Mashur Malamo. Baab Manshur berkuasa hingga tahun 1272 M. Kerajaan Ternate
memainkan peranan penting di kawasan ini, dari abad ke-13 hingga 17 M, terutama di sektor
perdagangan. Dalam sejarah Indonesia, Kesultanan Ternate merupakan salah satu di antara
kerajaan Islam tertua di nusantara, dikenal juga dengan nama Kerajaan Gapi. Tapi, nama
Ternate jauh lebih populer dibanding Gapi.
b. Pembentukan Persekutuan
Sebagaimana disebutkan di atas, selain Ternate, di Maluku juga terdapat beberapa kerajaan
lain yang juga memiliki pengaruh. Masing-masing kerajaan bersaing untuk menjadi kekuatan
hegemonik. Dalam perkembangannya, Ternate tampaknya berhasil menjadi kekuatan
hegemonik di wilayah tersebut, berkat kemajuan perdagangan dan kekuatan militer yang
mereka miliki. Selanjutnya, Ternate mulai melakukan ekspansi wilayah, sehingga
menimbulkan kebencian kerajaan lainnya. Dari kebencian, akhirnya berlanjut pada
peperangan. Untuk menghentikan konflik yang berlarut-larut, kemudian Raja Ternate ke-7,
yaitu Kolano Cili Aiya (1322-1331) mengundang raja-raja Maluku yang lain untuk berdamai.
Setelah pertemuan, akhirnya mereka sepakat membentuk suatu persekutuan yang dikenal
sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Hasil lain pertemuan adalah, kesepakatan untuk
menyeragamkan bentuk lembaga kerajaan di Maluku. Pertemuan ini diikuti oleh 4 raja terkuat
Maluku, oleh sebab itu, persekutuan tersebut disebut juga sebagai Persekutuan Moloku Kie
Raha (Empat Gunung Maluku).
c. Islam di Ternate
Diperkirakan, Islam sudah lama masuk secara diam-diam ke Ternate melalui jalur
perdagangan. Hal ini ditandai dengan banyaknya pedagang Arab yang datang ke wilayah
tersebut untuk berdagang, bahkan ada yang bermukim. Selain melalui perdagangan,
penyebaran Islam juga dilakukan lewat jalur dakwah. Muballigh yang terkenal dalam
menyebarkan Islam di kawasan ini adalah Maulana Hussain dan Sunan Giri
Ada dugaan, sebelum Kolano Marhum, sudah ada Raja Ternate yang memeluk Islam, namun,
hal ini masih menjadi perdebatan. Secara resmi, Raja Ternate yang diketahui memeluk Islam
adalah Kolano Marhum (1465-1486 M), Raja Ternate ke-18. Anaknya, Zainal Abidin (1486-
1500) yang kemudian menggantikan ayahnya menjadi raja, pernah belajar di Pesantren
Sunan Giri di Gresik. Saat itu, ia dikenal dengan sebutan Sultan Bualawa (Sultan Cengkeh).
Ketika menjadi Sultan, Zainal Abidin kemudian mengadopsi hukum Islam sebagai undangundang
kerajaan. Ia juga mengganti gelar Kolano dengan sultan. Untuk memajukan sektor
pendidikan, ia juga membangun sekolah (madrasah). Sejak saat itu, Islam berkembang pesat
di Ternate dan menjadi agama resmi kerajaan.
d. Kedatangan Penjajah Eropa
Orang Eropa pertama yang datang ke Ternate adalah Loedwijk de Bartomo (Ludovico
Varthema) pada tahun 1506 M. Enam tahun kemudian, pada 1512 M, rombongan orang
Portugis tiba di Ternate di bawah pimpinan Fransisco Serrao. Ketika pertama kali datang,
bangsa kulit putih ini masih belum menunjukkan watak imperialismenya. Saat itu, mereka
masih menunjukkan itikad baik sebagai pedagang rempah-rempah. Oleh sebab itu, Sultan
Bayanullah (1500-1521) yang berkuasa di Ternate saat itu memberi izin pada Portugis untuk
mendirikan pos dagang.
Sebenarnya, Portugis datang bukan hanya untuk berdagang, tapi juga menjajah dan
menguras kekayaan Ternate untuk dibawa ke negerinya. Namun, niat jahat ini tidak diketahui
oleh orang-orang Ternate. Ketika Sultan Bayanullah wafat, ia meninggalkan seorang
permaisuri bernama Nukila, dan dua orang putera yang masih belia, Pangeran Hidayat dan
Pangeran Abu Hayat. Selain itu, adik Sultan Bayanullah, Pangeran Taruwese juga masih hidup
dan ternyata berambisi menjadi Sultan Ternate. Portugis segera memanfaatkan situasi dengan
mengadu domba kedua belah pihak hingga pecah perang saudara. Dalam perang saudara
tersebut, Portugis berpihak pada Pangeran Taruwese, sehingga Taruwese berhasil
memenangkan peperangan. Tak disangka, setelah memenangkan peperangan, Pangeran
Taruwese justru dikhianati dan dibunuh oleh Portugis. Kemudian, Portugis memaksa Dewan
Kerajaan untuk mengangkat Pangeran Tabarij sebagai Sultan Ternate. Sejak saat itu,
Pangeran Tabarij menjadi Sultan Ternate. Dalam perkembangannya, Tabarij juga tidak
menyukai tindak-tanduk Portugis di Ternate. Akhirnya, ia difitnah Portugis dan dibuang ke
Goa-India. Di sana, ia dipaksa menandatangani perjanjian untuk menjadikan Ternate sebagai
kerajaan Kristen, namun, ia menolaknya. Sultan Khairun yang menggantikan Tabarij juga
menolak mentah-mentah perjanjian ini.
Tindak-tanduk Portugis yang sewenang-wenang terhadap rakyat dan keluarga sultan di
Ternate membuat Sultan Khairun jadi geram. Ia segera mengobarkan semangat perlawanan
terhadap Portugis. Untuk memperkuat posisi Ternate dan mencegah datangnya bantuan
Portugis dari Malaka, Ternate kemudian membentuk persekutuan segitiga dengan Demak dan
Aceh, sehingga Portugis kesulitan mengirimkan bantuan militer ke Ternate. Portugis hampir
mengalami kekalahan. Untuk menghentikan peperangan, kemudian Gubernur Portugis di
Ternate, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun untuk berunding. Berbekal kelicikan
dan kejahatan yang memang telah biasa mereka lakukan, Portugis kemudian membunuh
Sultan Khairun di meja perundingan.
Sultan Babullah (1570-1583 M) kemudian naik menjadi Sultan Ternate menggantikan Sultan
Khairun yang dibunuh Portugis. Ia segera memobilisasi kekuatan untuk menggempur
kekuatan Portugis di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia. Setelah berperang selama
lima tahun, akhirnya Ternate berhasil mengusir Portugis untuk selamanya dari bumi Maluku
pada tahun 1575 M. Dalam sejarah perlawanan rakyat Indonesia, ini merupakan kemenangan
pertama bangsa Indonesia melawan penjajah kulit putih.
2. Silsilah
Berikut ini beberapa kolano dan sultan yang pernah berkuasa di Ternate. Data berikut belum
lengkap, karena masih banyak nama sultan yang belum tercantum. Urutan nama-nama sultan
disesuaikan dengan urutannya menjadi sultan.
1. Kolano Baab Mashur Malamo (1257-1272)
7. Kolano Cili Aiya (1322-1331)
17. Kolano Marhum (1465-1486)
18. Sultan Zainal Abidin (1486-1500)
19. Sultan Bayanullah (1500-1521)
20. Pangeran Taruwese
21. Pangeran Tabarij
22. Sultan Khairun (1534-1570)
23. Sultan Baabullah (1570-1583)
-- Sultan Mandar Syah (1648-1650)
-- Sultan Manila (1650-1655)
-- Sultan Mandar Syah (1655-1675)
-- Sultan Sibori (1675-1691)
-- Sultan Muhammad Usman (1896-1927)
48. Sultan Muhammad Jaber Syah
49. Sultan Mudaffar Syah (1975-sekarang)
3. Periode Pemerintahan
Ternate mencapai masa jaya pada paruh kedua abad ke-16 M, di masa pemerintahan Sultan
Baabullah (1570-1583), berkat ramainya perdagangan rempah-rempah. Saat itu, untuk
menjaga lalu lintas perdagangan di kawasan tersebut, Ternate memiliki armada militer yang
tangguh. Ketangguhan armada ini telah terbukti dengan keberhasilan mereka mengalahkan
penjajah Portugis. Pada paruh kedua abad ke-17 M, sebenarnya kejayaan Kerajaan Ternate
telah berakhir, seiring dengan mundurnya Sultan Mandar Syah dari singgasana kerajaan
karena dipaksa oleh Gubernur VOC di Ambon, Arnold de Vlaming. Bahkan, ternyata Sultan
bukan hanya dipaksa turun, tapi juga dipaksa untuk menandatangani perjanjian agar Ternate
melepaskan seluruh klaim teritorinya di Maluku.
Hingga saat ini, Kerajaan Ternate telah berdiri lebih dari 750 tahun. Dalam usianya yang
sudah begitu tua, Kesultanan Ternate masih tetap berdiri, walaupun keberadaannya tak lebih
dari simbol belaka. Jabatan sultan sekarang ini tak memiliki wewenang, tapi tetap
berpengaruh di masyarakat. Sultan Ternate saat ini adalah Drs. Hi. Mudaffar Sjah, BcHk.
(Mudaffar II) yang dinobatkan tahun 1975, dan merupakan sultan yang ke-49.
4. Wilayah Kekuasaan
Pada masa awal berdirinya, kekuasaan Kerajaan Ternate hanya mencakup beberapa kampung
di Pulau Ternate. Seiring perkembangan, Ternate semakin maju dan mencapai masa jayanya
di abad ke-16. Saat itu, kekuasaan Kerajaan Ternate mencakup wilayah Maluku, Sulawesi
Utara, Timur dan Tengah, Nusa Tenggara, Selatan Kepulauan Philipina (Mindanao) dan
Kepulauan Marshal di Pasifik.
5. Struktur Pemerintahan
Sebagaimana diceritakan di atas, pada awal berdirinya, Kerajaan Ternate hanyalah kumpulan
beberapa kampung. Saat itu, kepala kampungya disebut Momole. Ketika kampung-kampung
ini bersatu membentuk sebuah kerajaan, pemimpinnya disebut Kolano (raja). Ketika Islam
mulai menyebar ke seluruh penjuru nusantara dan Raja Ternate kemudian memeluk Islam,
gelar Kolano diganti dengan sultan. Kolano pertama yang memakai gelar sultan adalah Zainal
Abidin. Sejak saat itu, pemimpin tertinggi di Ternate adalah sultan. Selanjutnya, karena
kerajaan menggunakan hukum Islam, maka, ulama juga memegang peranan penting.
Untuk membantu Sultan menjalankan tugas-tugas kerajaan, kemudian dibentuk pula jabatan
Jogugu (perdana menteri) dan Penasihat Raja yang disebut Fala Raha (empat rumah). Fala
Raha merupakan representasi empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung
Kesultanan Ternate. Bisa dikatakan bahwa, Fala Raha sebenarnya pengganti empat momole di
masa sebelum datangnya Islam. Masing-masing raha dipimpin oleh seorang Kimalaha. Di
antara Kimalaha tersebut adalah: Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Para pejabat
tinggi istana berasal dari empat klan ini. Jika sultan tak meninggalkan pewaris, maka
penerusnya dipilih dari salah satu klan yang empat ini. Jabatan lain yang dibentuk untuk
membantu tugas sultan adalah Bobato Nyagimoi (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau,
Salahakan dan Sangaji.
6. Kehidupan Sosial Budaya
Ternate merupakan daerah yang terkenal penghasil rempah-rempah. Penduduk yang bertani
adalah mereka yang tinggal di kawasan perbukitan, mereka menanam cengkeh, pala, kayu
manis dan kenari. Cengkeh dari Ternate sangat terkenal karena kualitasnya yang baik. Di
daerah yang agak rendah, penduduknya menanam kelapa. Masyarakat yang bermukim di
pinggir pantai banyak juga yang menjadi nelayan. Selain petani dan nelayan, orang-orang
Ternate juga banyak yang menjadi pedagang. Makanan utama orang Ternate adalah beras,
sagu atau ubi kayu (singkong) yang diolah khusus, dikenal dengan nama huda, bentuknya
mirip dengan irisan roti. Dari singkong, orang Ternate juga membuat papeda. Beras yang
dikonsumsi masyarakat Ternate berasal dari Pulau Halmahera, Makassar dan Manado.
Jika direnungkan, sebenarnya peninggalan Ternate tidak sebanding dengan kebesaran
namanya. Tidak ada warisan intelektual, arsitektur ataupun seni berkualitas tinggi yang
ditinggalkannya. Satunya-satunya warisan sastra yang ditinggalkan hanyalah Dolo bololo se
dalil moro. Sastra ini berbentuk puisi, peribahasa, ibarat, yang kebanyakannya berisi
pendidikan moral tradisional. Padahal, sebagai bandar utama rempah-rempah di Maluku,
Ternate sudah berhubungan dengan peradaban yang lebih maju seperti Jawa, Melayu, Cina,
Arab dan Eropa. Namun, sepertinya hal itu tidak meninggalkan pengaruh.Berkaitan dengan
absennya kebudayaan tulis, mungkin disebabkan Ternate selalu sibuk dengan urusan
peperangan dan konflik. Sebelum Eropa datang, Ternate konflik dengan kerajaan sekitarnya
karena memperebutkan hegemoni. Setelah bangsa Eropa datang, konflik terjadi dengan
bangsa Eropa. Implikasinya, orang Ternate mencurahkan segenap energinya hanya untuk
mempertahankan diri, sebab, konteksnya adalah: menyerang atau diserang. Karena alasanalasan
inilah, maka seni budaya yang muncul di Ternate, seperti tarian cakalele, memiliki
watak militer.
Sumber : members.virtualtourist.com
Comments
Post a Comment